Apa itu ‘Amor ring Acintya?’
Ungkapan ‘amor
ring Acintya’, dalam masyarakat Bali sekarang, umumnya dirasa hanya
sebatas slogan, yang sesungguhnya sangat sarat makna. Jika disertai
dengan pemahaman yang baik, siapapun yang mendengar ungkapan tersebut
jiwa dan pikirannya pasti tergetar.
DUMUGI AMOR RING
ACINTYA artinya SEMOGA BERSATU DALAM KEDEWATAAN TERTINGGI
(Acintya). Ungkapan ini diucapkan ketika ada seseorang meninggal dunia
di Bali.
Dumugi berarti semoga. Amor berarti bersatu, menghilang, atau menuju kedalam situasi ‘ketiadaan’ atau ‘tidak tampak’. Acintya berarti ‘tidak tersentuh oleh pikiran’. Dalam konteks filsafat disamakan dengan sūkṣma dan śūnya.
Sastra Jawa Kuna
menyebutkan beberapa baris terkait dengan ungkapan di atas. Berikut
kutipan dari naskah kidung dan kakawin Jawa Kuno:
1). ‘Amor ring dewata’ ada dalam Kidung Harsa-Wijaya: ‘saṅ wus amor iṅ dewata; saṅ wus amor iṅ dewa; saṅ wus amor i widi’;
2). ‘Amor ring Widhi’ ada dalam Kidung Sunda disebut ‘saṅ wus amor iṅ widi.’
3). ‘Amor ring Śiwātmaka’ ada dalam naskah Wangbang Wideha,‘agya ni ṅwaṅ amor iṅ Śiwātmaka’
Ungkapan tersebut
ditujukan kepada para raja, atau orang suci, yang dimaksudkan ‘saṅ wus
amor iṅ dewata’ (beliau yang telah kembali ke alam kedewataan’, adalah
beliau-beliau yang suci, yang terhormat, ‘memenangkan kehidupan ini’ dan
kembali ke alam kedewataan.
Jika ingin
kembali ke alam kedewataan, tentunya kita harus punya kualitas
kedewataan dulu. Kalau kualitas diri kita hanya KW2 atau KW3 tujuan itu
akan semakin jauh. Slogan tinggal slogan.
‘Amor ring Acintya’
tidak lain cita-cita kemanusiaan terdalam ajaran Siwa, Buddha, dan
Hindu pada umumnya, yang kita kenal sebagai pencapaian ‘Moksa’ atau
‘Nirvana’.
Di Bali kita
mewarisi lontar-lontar berbahasa Jawa Kuno yang menjadi panduan dalam
meningkatkan kualitas diri kita dari KW2 atau KW3 menuju jiwa yang
‘orisinil’. Lontar-lontar tersebut antara lain: Aji Kadyatmikan, Aji Kamoksan, Aji Putus, Dharma Sunya, Dharma Patanjala, Wṛhaspatitattwa, dstnya. ‘Amor ring Acintya’ di dalam lontar-lontar tersebut mempunyai padanannya yaitu: sūkṣma dan śūnya.
‘Amor ring Acintya’ adalah tujuan tertinggi semua naskah-naskah tersebut. Di salah satu naskah tersebut, yaitu Wṛhaspatitattwa,
disebutkan dalil asal muasal kita harus kita pahami jika kita ingin
kembali ke asal muasal kita, alam kedewataan. Logikanya: Jika mau sampai
tujuan kita harus mengenal jalan. Jika kita mau ke asal muasal kita,
bagaimana kita sampai ke asal jika tidak mengerti prinsip asalmuasal
kehidupan? Bagaimana tidak mengenal jalan berharap sampai di tujuan?
Langkah-langkah dalam lontar-lontar di Bali disebutkan: Pertama mengenal
prinsip tattwa atau prinsip penciptaan dan asal muasal. Kedua mengenal
jalan, selanjutnya menempuh jalan, dan dijalani dengan penuh
ketulus-ikhlasan ketika menempuh jalan. Disebutkan, setelah
tahapan-tahapan itu terjalankan dengan kesempurnaan baru kemungkinan
sampai tujuan: AMOR RING ACINTYA.
‘Amor ring Acintya’ yang
dipopulerkan di masyarakat Bali tentu sangatlah penting. Setidaknya,
kita kembali berulang kali diingkatkan bahwa muasal kita dan tujuan kita
adalah Sang Hyang Acintya, maha hening kedewataan tertinggi. Dengan
mendengar istilah itu saat seseorang meninggal, kita disapa, diingatkan
lagi, diajak kembali menimbang ‘kedewataan asal muasal kita’, dan
‘kedewataan yang akan menjadi tujuan kita’.
ACINTYA, sūkṣma dan śūnya,
adalah dalil yang terbuka di dalam diri kita, dalam kehidupan kita,
dalam kemanusiaan terdalam yang senantiasa menggugah untuk kita masuki
dan renungi dengan keheningan mendalam. Celakanya, kita cenderung
terlalu banyak berkata-kata untuk menjelaskan ‘yang tak tersentuh
pikiran itu’ (Acintya). Ajaran-ajaran suci di Bali dan Jawa Kuna
mengajari kita: Apa yang hening tidak bisa kita sentuh dengan
kebisingan. Bukan dalam obrolan yang panjang, tapi dalam hening yang
panjang.
Sumber/Penulis: Sugi Lanus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar